Selasa, 17 Desember 2024 13:30 WIB
Ilustrasi menyambung tali silaturahim. (Foto: Media Masyarakat)
Sebuah riwayat menyebutkan:
مَن أَحَبَّ أن يُبْسَطَ له في رزقِه ، وأن يُنْسَأَ له في أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَه.
Makna hadits: "Barang siapa (pribadi maupun kelompok) yang mendambakan kelapangan rizki, kebugaran fisik dan panjang usia, maka hendaklah menyambung tali asih (silaturahim)."
Dari riwayat di atas, setidaknya kita bisa mengambil beberapa pelajaran berikut:
- Ketika Anda sedang menyambung, berarti ada sesuatu yang terputus, maka dibutuhkan usaha berupa penyambungan dan penghubungan. Dalam dunia bisnis, jaringan kemitraan adalah nomor satu, akan tetapi tidak semua orang perlu kita sambung. Kita harus memilih dan memilah agar tidak salah dalam berjejaring.
- Jika dalam dunia bisnis harus selektif (berhati-hati) dalam memilih mitra kerja, maka tidak demikian dalam hubungan kekerabatan. Semua kerabat keluarga harus kita sambung sebagai bakti kita pada orang tua dan agama. Jika kerabat yang ingin kita sambung menolak, maka kewajiban kita sudah gugur, karena tugas kita hanya menyambung, dan kita tetap dianjurkan menyambungnya dengan doa. Artinya, meskipun orang lain memutus tali silaturahim, kita tidak boleh ikut-ikutan memutusnya, tapi tetap membuka pintu perdamaian dengannya. Hal inilah yang diajarkan Nabi ketika membangun fondasi ukhuwah Islamiyah pada masa-masa awal hingga pada puncaknya menyambungkan tali persaudaraan antara sahabat Muhajirin dan Anshor yang menjadi kekuatan utama dalam merebut kota Makkah.
- Jika pemahaman dari riwayat di atas kita balik, maka akan memberi kesan ancaman bagi mereka yang suka berbuat onar, menipu dan memutuskan tali pertemanan, bisa jadi rizkinya akan dipersempit. Dan yang mempersempit bukan orang lain, tapi dirinya sendiri.
- Dalam hadis tersebut, Nabi tidak menjanjikan iming-iming rizki yang "banyak"! Tapi rizki yang "lapang". Apa bedanya rizki lapang dengan rizki banyak? Rizki lapang artinya melebar, meluas dan mendalam, polanya seperti bentuk sumur atau mata air. Sedangkan rizki "banyak" sifatnya meninggi dan menumpuk-numpuk aset untuk memperkaya diri yang rawan roboh dan menimpa orang-orang di sekitarnya. Pola semacam ini kesannya ambisius, egois dan eksploitasi. (Baca surat Al Takatsur)
Gus Muhammad Sholah Ulayya, Lc., M.Pd.I, Koordinator Lingkar Kosmik Jatim & Sekjen Aswaja NU Center Sidoarjo, Pembantu Pengasuh PP. Al Roudloh Kajen.
Kolomnis: Muhammad Sholah Ulayya
Editor: Rista Aslin Nuha