"Jangan sampai beras yang kau simpan itu menjadi berhalamu! Yang hatimu menjadi tentram karena keberadaannya." Begitu kira-kira pesan KH. Ahmad Nafi' Abdillah dalam pengajian rutin malam selasa di masjid kampung kami. Pesan yang begitu singkat nan sederhana, namun "sidik jarinya" masih menancap kuat hingga hari ini.
Memang dalam hidup ini, ada segelintir orang yang meskipun sudah berpulang dan cenderung "terlupakan" akan tetapi wujudnya masih begitu nyata. Hanya seutas pesan, seberkas kesan dan segenggam kenangan yang jadi semacam obat pelipur lara tatkala sosok tersebut begitu dirindukan.
"Ojo terlalu mikir barang seng durung wujud, marahi stres" (Jangan berlebihan menggadang-gadang dan memeras pikiran untuk sesuatu yang belum terjadi, nanti bikin kamu stres). Pesan beliau pada kesempatan yang lain.
Guru bagi saya adalah kalimat suci yang tidak sembarang orang boleh menyandangnya, apalagi mengaku-ngaku dan menyematkan nama itu di lengan bajunya. Tuhan sendiri ketika menitihkan lima ayat pertama pada surat Al-'Alaq, dengan "bangga" menasbihkan "diri-Nya" sebagai maha guru.
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ١ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ ٢ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ ٣ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ ٤ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ ٥
Pada ayat ke-4 dan ke-5 surat Al-'Alaq tersebut, Allah menyatakan bahwa Dia telah mentransfer ilmu untuk pertama kali melalui al qalam, alladzi 'allama bil qalam. Jika Anda perhatikan, kata kerja "'Allama" sengaja dibiarkan tanpa objek (maf'ul). Dialah yang mengajarkan ilmu dengan perantara al qalam.
Sedangkan pada kata kerja yang kedua, Allah menyebutkan objek penerima ilmu-Nya tersebut, yakni al insan. Dialah yang mengajarkan pada manusia ilmu pengetahuan yang belum ia ketahui.
Bukankah yang memberikan ilmu pada kita dengan sukarela dan menyiapkan semua perangkat pembelajaran kita sebut ia sebagai guru? Pengalaman adalah guru terbaik! Kata sebuah pepatah.
Ketika wahyu pertama kali turun pada Nabi Muhammad shalallah 'alaih wassalam, Tuhan tidak mengatakan "iqra' bismillah", akan tetapi lebih memilih menggunakan kata "bismi rabbik". Lantas apa sebenarnya makna "Rabb" itu? Dan apa rahasia dibaliknya?
Dalam kamus al-Ma'any kata Rabb ternyata memiliki cakupan makna yang cukup luas dan mendalam. Kata Rabb bukan hanya berarti Tuhan sebagaimana terjemahan yang selama ini sering kita dengar, akan tetapi kata Rabb bisa bermakna:
- Yang bertanggung jawab.
- Yang merawat.
- Yang menata dan mendidik.
- Yang memiliki.
- Yang menjaga dan mengayomi.
Guru, orang tua, dan Tuhan adalah tri-tunggal penggerak roda kehidupan spiritual kita. Kita tidak mungkin mengenal Tuhan jika tidak dikenalkan oleh orang tua dan guru-guru kita. Begitu juga para orang tua kita dahulu, mereka mengenal Tuhan dari kakek-buyut dan leluhur mereka.
Jika para orang tua dan guru bertugas mengasuh dan mengasah jasmani serta rohani anak didiknya, maka Tuhan adalah sang pencetus "ide" sistem pola asah, asih, dan asuh tersebut.
Dalam surat al-Fatihah ayat kedua, Allah mengatakan bahwa Dia adalah Rabb al-'alamin, yang artinya sang maha pengatur atas sistem gerak seluruh ciptaan-Nya yang mana dijalankan oleh makhluk bernama manusia sebagai pelaksana tugas kekhalifahan sekaligus wahana penghambaan yang telah dibebankan kepadanya sebelumnya. (Lihat surat al-A'raf: 172, al-Baqarah: 30, dan al-Ahzab: 72)
Dan pola saling ketergantungan dan keterhubungan dalam asah, asih, dan asuh itu adalah sistem ketuhan yang abadi dan tak akan mungkin tergantikan oleh sistem apapun buatan manusia.
Hal ini adalah konsekuensi dari keabadian ajaran Islam, kesempurnaan serta keluasan cakupannya yang tidak lagi dibatasi oleh daerah tertentu sebagaimana ajaran Nabi-Nabi terdahulu, akan tetapi mencakup seluruh dimensi penyampaian dan seni penerapannya.
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ ٩ (
الحجر/15: 9)
Artinya: "Sesungguhnya kamilah yang mula-mula menurunkan Al-Qur'an (sebagai sistem kehidupan) maka kamilah yang bertanggung jawab dalam menjaga dan merawatnya." (QS. Al-Hijr: 9)
Kata ganti "kami" (nahnu) mengisyaratkan sebentuk "kerja sama" antar umat sepeninggal Nabi dimana Al-Qur'an sebagai mukjizat teragung sekaligus pedoman hidup akan bisa berdaya guna jika ia dibaca, direnungkan, dan digali seluruh potensinya sesuai kebutuhan zaman dan pola aplikasinya.
Gus Muhammad Sholah Ulayya, Lc., M.Pd.I, Koordinator Lingkar Kosmik Jatim & Sekjen Aswaja NU Center Sidoarjo, Pembantu Pengasuh PP. Al Roudloh Kajen.