[Ilustrasi] |
Oleh: M. Sholah Ulayya
Agama Islam
datang bukan begitu saja tetapi disesuaikan dgn logika, nalar, dan cara
berpikir yang benar sesuai fitrah kehambaan mahluk yang bernama manusia.
Diakui ataupun
tidak, setiap orang berkeyakinan - seorang Atheis sekalipun- bahwa manusia
tidak mampu menciptakan dirinya sendiri. Dirinya saja tidak mampu menciptakan
apalagi alam semesta raya yang jelas² adalah wujud yang di luar diri manusia.
Oleh karena manusia mempunyai status permanen yang tidak bisa dilepaskan sejak
ia lahir hingga mati.
Status itu adalah
status "ke-Makhlukan" yang artinya bagaimanapun hebatnya donald Trump
atau digdayanya Cina atau kekuatan apapun di muka bumi ini, mereka hanyalah
mahluk yang pernah tiada dan kemudian di-adakan alias di ciptakan.
Status yang kedua
adalah status kehambaan yakni manusia selalu bertanya-tanya siapa sebenarnya
dirinya? Dari mana ia berasal? Dan kemana ia akan menetap setelah mati?
Pertanyaan² ini adalah fitrah setiap mahluk yang bernama manusia apapun suku
bangsa dan rasnya. Maka dari itu manusia butuh jawaban dari semua pertanyaan
tentang eksistensi sejati dari semua yang wujud ini termasuk dirinya sendiri.
Dengan begitu, ia sudah mulai sadar bahwa ia tidak hanya mahluk yang
diciptakan tapi sekaligus hamba dari yang menciptakan.
Logika inilah
yang terus menerus di bangun oleh Gus baha' dalam hampir setiap pengajianya.
Bahwa pondasi utama agama Islam adalah kalimat Tauhid "Asyhadu an La
ilaaha Illah" artinya setiap manusia sadar sesadar-sadarnya bahwa ia
tidak mampu menciptakan dirinya sendiri dan bukan pencipta alam raya ini. Oleh
sebab itu ia butuh rujukan atau sandaran yang mampu menjawab dan melegakan
hatinya. Nah, kalimat syahadat berikutnya "Wa asyhadu anna muhammadan
rosulullah" adalah sandaran atau sanad yang mampu menjawab pertanyaan²
diatas.
Berhubung kita
tidak "menangi" kanjeng Nabi Sallahu alaih wasallam maka kita
kebagian "wiratsah" atau warisan Nabi SAW yaitu Islam yang di
teruskan oleh para sahabat, Tabi'in, Tabi'ittabiin, hingga para wali dan ulama.
Itulah pentingnya sanad atau sandaran bahwa kita mengakui kelemahan dan
kebodohan kita, akan tetapi kita tidak boleh diam dan menerima begitu saja,
akan tetapi kita wajib ikhtiar menyempurnakan status kehambaan kita dengan
mengikuti para ulama yang jelas sanad keilmuanya yang sambung hingga kanjeng
Rasul alaihissalam.
(inspirasi ngaji
gus baha')
|